Omnibus Law itu Sebenernya Apa?

Elisabeth Glory
3 min readOct 15, 2020

--

Ilustrasi tolak omnibus law. (CNN Indonesia/Andry Novelino)

Omnibus Law dan UU Cipta Kerja itu dua hal yang berbeda loh. Hayo, udah tahu apa nggak?

Apa UU Ciptaker itu Omnibus Law? Yes bener.
Apa Omnibus Law itu selalu UU Ciptaker? Enggak guys.

Bahkan surprise! Sudah ada 2 Omnibus Law lain yang jadi prioritas pengesahan DPR. Kedua yang lain adalah RUU Ibu Kota Negara dan RUU Kefarmasian. Harusnya sih ada satu lagi RUU Perpajakan, tapi dibatalin karena sudah dilebur dengan UU Ciptaker.

Agar temen-temen nggak bingung ketika ngomongin Omnibus Law, yuk sama-sama belajar.

Omnibus berasal dari bahasa latin omnis yang berarti banyak. Kenapa kok banyak? Karena dalam satu UU dia bisa “menyapu” banyak sektor, mulai dari Ketenagakerjaan, Izin Lingkungan, Perpajakan. Sehingga sering disebut UU sapujagat. Padahal biasanya satu UU hanya mencakup satu sektor saja.

Emang kenapa sih kok sampe harus digabung segala? Katanya sih supaya bisa menyelesaikan permasalahan “hukum saling tabrak” di Indonesia. Hukum saling tabrak a.k.a tumpang tindih itu memang sudah sedari dulu mengganggu penegakan hukum dan pelaksanaan investasi di Indonesia.

Salah satu contoh nyata adalah fenomena pejabat yang “malas” berinovasi akibat bertabraknya UU Administrasi Pemerintah dan UU Tindak Pidana Korupsi.

Contoh saya ambil dari Pakar Hukum Tata Negara, Jimmy Z Usfunan.

Beliau mengungkap bahwa pejabat sebenarnya boleh membuat keputusan inovatif terhadap penggunaan anggaran, dengan tujuan mengembangkan iklim investasi sesuai dengan temuan di lapangan. Hal ini disebut diskresi dalam UU Administrasi Pemerintah. Sehingga diskresi dapat menjadi solusi apabila UU yang berlaku tidak mengatur permasalahan yang ditemui di lapangan. Namun diskresi ini jadi “malas” digunakan karena jika inovasi mereka itu membuat negara rugi, ya mereka harus siap-siap dibawa ke KPK.

Karena, UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menilai bahwa kerugian negara itu harus dijerat. Jimmy mengungkap kalau UU Tipikor itu tidak mempertimbangkan niat baik atau jahat pejabat (mens rea) dibalik kerugian negara tersebut (mungkin karena takut pasalnya jadi makin karet ya).

Jadi seperti itulah permasalahan yang pernah muncul (yang contohnya bisa saya temukan dan mudah dipahami untuk kita semua).

Pro Kontra Terhadap Omnibus Law.

Jimmy Z Usfunan mengatakan UU payung memang dapat dijadikan alat harmonisasi UU, asal tidak disalahgunakan untuk memenuhi tendensi negatif.

Namun secara teori perundang-undangan di Indonesia, kedudukan UU dari konsep omnibus law itu belum diatur. Jika melihat sistem perundang-undangan di Indonesia, UU hasil konsep omnibus law bisa mengarah sebagai UU Payung karena mengatur secara menyeluruh dan kemudian mempunyai kekuatan terhadap aturan yang lain. Tetapi, Indonesia justru tidak menganut UU Payung karena posisi seluruh UU adalah sama.

Kalaupun kedudukannya nggak jelas, tetap ada prinsip umum, yaitu hukum yang lebih spesifik terhadap kasus bakal lebih tinggi daripada yang umum (lex spesialis derogat legi generalis). Namun ya memang idealnya sih kedudukannya harus ditentukan dalam UU tentang pembuatan Undang Undang (which is UU №12 tahun 2011).

Memang sih katanya Pak Jokowi UU Ciptakerja ini bakal banyak penjelasan detailnya pada Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres). Jadi istilahnya UU itu mengcover hal umum, sedangkan eksekusi spesifik ada di PP sama Perpres. Dan kabarnya, target penyelesaian PP dan Perpres itu hanya 1–3 bulan…

Salah satu sisi positif pembuatan UU sapujagat adalah hemat waktu dan biaya. Pada rentang waktu 2014–2019, ada 84 RUU yang disahkan menjadi UU, setiap prosesnya membutuhkan biaya sekitar 6,56 milyar Rupiah. Di Omnibus Law nanti, diperkirakan ada sekitar 81 RUU yang dipayungkan dalam satu anggaran, sehingga lebih efisien.

Namun Omnibus Law juga dinilai berpotensi memberikan kekuatan lebih pada pemerintahan pusat, meski belum tahu dampaknya positif atau negatif. Menurut Dr. Radian Salman S.H., LL.M., Wakil Dekan III FH UNAIR, UU Ciptaker dapat menimbulkan konflik baru, karena pemerintah akan cenderung meninggalkan sistem desentralisasi.

Namun menurut Bahlil Lahadalia, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, sentralisasi justru sangat penting. Karena beliau sering menemukan kasus ego sektoral yang menyebabkan mangkraknya investasi. Beliau mencontohkan seorang investor yang tidak bisa memulai pembangunan jika belum “berpamitan” dengan Bupati setempat. Sehingga dengan adanya Omnibus Law (spesifiknya UU Cipta Kerja) pemerintah pusat dapat langsung menindak pejabat yang secara sengaja mempersusah jalannya proyek investor.

Nah oke, udah lebih paham Omnibus Law sendiri itu apa?

Lanjut part 2 dan 3 ya ❤!

  • Disclaimer: saya bukan expert hukum, saya hanya seorang penulis lepas yang pernah belajar jurnalistik. Beberapa source bacaan saya sudah saya tautkan pada beberapa kata kunci yang ada di teks ini, untuk ada cek sendiri. Take everything with a grain of salt. enjoy ❤

--

--

Elisabeth Glory
Elisabeth Glory

Written by Elisabeth Glory

Hi! 🐯💕🦄 I create contents on social media. Usually about social or political issues.

No responses yet